Kamis, 27 September 2012 | 03:50 WIB
Jakarta
– FPI: Makin eksisnya kaum monoritas, khususnya etnis Tionghoa, tak
terlepas dari peran dan "perjuangan" Gus Dur. Maka, terutama di kalangan
minoritas, Gus Dur amat "dipuja". Karena, dengan 'perjuangan' Gus Dur
itulah, kelompok minoritas negeri ini tak hanya kian berjaya di bidang
ekonomi, tapi juga merambah ke dunia politik. Dulu, hari raya imlek tak
libur nasional, lalu saat Gus Dur jadi presiden, hari besar kaum China
itu ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Sebelum
merambah dunia politik, mereka sudah tampil luar biasa di bidang
ekonomi, menguasai 90% sektor ini di Indonesia. Bahkan dunia pendidikan
pun mereka 'kunci'. Banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi adalah
milik kaum minoritas. Begitu pula di bidang media. Bahkan
media–khususnya televisi–digunakan untuk bisa eksis di dunia politik.
Sekarang,
di bidang politik kelompok minoritas kian giat. Bahkan untuk melengkapi
tangga sukses mereka, banyak pula pejabat menjadi pelayan yang baik
bagi golongan ini. Ini sejak dulu. Padahal, umat mayoritas yang
kebanyakan hidup nelangsa di negeri ini kian miskin. Tak punya peluang
untuk menjadi hidup lebih baik. Sementara umat Islam yang minoritas di
Eropa, Amerika, dan di mana pu, mereka tetap diperlakukan sebagai warga
minoritas yang hak-haknya jauh berbeda dibanding kelompok mayoritas.
Mereka mendapat perlakuan yang amat diskriminatif.Nah,
di negeri mayoritas Muslim ini, golongan minoritas hidup supermakmur,
bahkan bisa mengatur para pejabat dan sangat menguasai roda kehidupan,
utamanya bidang ekonomi, pendidikan, media–dan kini politik.
Begitulah
fakta dan realitasnya, memang. Jika di satu negeri yang mayoritasnya
adalah kaum Muslimin, maka kelompok minoritas sangat dilindungi–banyak
pembelanya dan didukung media, sehingga ironisnya sampai mengalahkan
kaum mayoritas dan si mayoritas pun jadi "tertuduh"–meskipun kekeliruan
ada pada sang minoritas.
Sebaliknya,
jika di sebuah negeri umat Islam pada posisi minoritas, jangan harap
berkehidupan dalam semua aspek berada di pihak mereka. Yang ada, mereka
tetap menjadi warga kelas rendah, tertindas dan ditindas! "Mereka harus
bersyukur atas perjuangan Gus Dur dilanjutkan oleh SBY sekarang," kata
Koordinator Gerakan Diskusi 77/78, Muhammad Hatta Taliwang, Rabu
(26/9/2012).
Karena
Gus Dur memperjuangkan kaum minoritas atas dasar kemanusiaan, Hatta pun
meminta kelompok minoritas pendukung Gus Dur giliran mendukung kelompok
mayoritas atas nama kemanusiaan. "Atas nama kemanusiaan pula, saya
bertanya, terutama ke pendukung Gus Dur minoritas yang sudah superkaya
dan supermakmur, sejauh mana perjuangan Anda untuk berjuang bersama kaum
mayoritas miskin yang ratusan juta dan tertindas di negeri ini? Mereka
tidak butuh charity atau kedermawanan atau belas kasihan dari Anda
dengan memberi angpau seperti memberi makan bebek. Mereka butuh
supporting agar perjuangan mereka dalam hal upah, tanah, hasil
pertanian, perkebunan, kesempatan kerja dan lain-lain bisa sukses,"
gugat Hatta.
Hatta
mengingatkan bahwa kelompok mayoritas miskin dan tertindas itu bukan
karena malas, bodoh, tidak kreatif dan tidak memiliki sumber daya.
Persoalan kemiskinan dan pemiskinan massif justru terjadi dan menimpa
mereka karena ada kebijakan yang tak berpihak kepada mereka, sebagimana
dikatakan Henry Veltemeyer, sebagai akibat dari proses akumulasi
kekayaan di satu sisi, serta penghisapan serta pemiskinan di sisi lain.
Masih
mengutip Veltmeyer, Hatta mengingatkan bahwa kemiskinan kelompok
mayoritas itu bukan terjadi alamiah, melainkan karena desain kebijakan
politik-ekonomi neoliberalisme dan globalisasi kapitalis. "Maka
pertanyaanku kepada pemuja Gus Dur yang sudah supermakmur, atas nama
humanisme, apakah Anda peduli pada masalah-masalah yang dihadapi
mayoritas rakyat di sini? Dan berjuang melawan neoliberalisme? Atau
malah Anda enjoy dan menjadi aktor aktif dari sistem yang menindas ini?"
tanya dan sekaligus gugatan Hatta atas kaum minoritas yang pada makmur
di negeri ini.
Sesungguhnya
kaum mayoritas negeri ini pun tak berharap kelompok minoritas membantu
mereka. Yang penting minoritas itu tahu diri. Sudah dibantu dan hidup
makmur jangan malah ngelunjak! Begitu kira-kira.
Dan
yang diharapkan kelompok mayoritas negeri ini adalah kebijakan yang
berpihak pada mereka. Masak penduduk mayoritas negeri ini malah
ditelantarkan, dan lebih melayani minoritas. Tapi begitulah, memang
realitasnya. Mayoritas yang menjadi pekerja minoritas, misalnya, jika
menggugat kecilnya gaji, tak manusiawinya perlakuan atas mereka, atau
sistem ketenagakerjaan yang acak-adut, umumnya policy pemerintah tak
berpihak pada mereka.
Begitulah
jika syariat Islam tak dipakai dalam kehidupan, kehidupan berpolitik,
ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Jika syariat Islam jadi panglima
untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, maka, baik mayoritas maupun
minoritas diperlakukan adil dan sama-sama dilindungi. Itulah
pemerintahan Islam yang pernah dipraktikkan di zaman Nabi Shallallahu
'Alaihi wa Sallam dan Khulafa -ur-Raasyidiin. [slm/fpi]
Sumber : Salam-Online.COM
Comments (0)
Posting Komentar