Posted by
Muhammad Syahwil Alwi
|
|
Posted on Sabtu, Oktober 13, 2012
Kamis, 27 September 2012 | 03:50 WIB
Jakarta
– FPI: Makin eksisnya kaum monoritas, khususnya etnis Tionghoa, tak
terlepas dari peran dan "perjuangan" Gus Dur. Maka, terutama di kalangan
minoritas, Gus Dur amat "dipuja". Karena, dengan 'perjuangan' Gus Dur
itulah, kelompok minoritas negeri ini tak hanya kian berjaya di bidang
ekonomi, tapi juga merambah ke dunia politik. Dulu, hari raya imlek tak
libur nasional, lalu saat Gus Dur jadi presiden, hari besar kaum China
itu ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Sebelum
merambah dunia politik, mereka sudah tampil luar biasa di bidang
ekonomi, menguasai 90% sektor ini di Indonesia. Bahkan dunia pendidikan
pun mereka 'kunci'. Banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi adalah
milik kaum minoritas. Begitu pula di bidang media. Bahkan
media–khususnya televisi–digunakan untuk bisa eksis di dunia politik.
Sekarang,
di bidang politik kelompok minoritas kian giat. Bahkan untuk melengkapi
tangga sukses mereka, banyak pula pejabat menjadi pelayan yang baik
bagi golongan ini. Ini sejak dulu. Padahal, umat mayoritas yang
kebanyakan hidup nelangsa di negeri ini kian miskin. Tak punya peluang
untuk menjadi hidup lebih baik. Sementara umat Islam yang minoritas di
Eropa, Amerika, dan di mana pu, mereka tetap diperlakukan sebagai warga
minoritas yang hak-haknya jauh berbeda dibanding kelompok mayoritas.
Mereka mendapat perlakuan yang amat diskriminatif.Nah,
di negeri mayoritas Muslim ini, golongan minoritas hidup supermakmur,
bahkan bisa mengatur para pejabat dan sangat menguasai roda kehidupan,
utamanya bidang ekonomi, pendidikan, media–dan kini politik.
Begitulah
fakta dan realitasnya, memang. Jika di satu negeri yang mayoritasnya
adalah kaum Muslimin, maka kelompok minoritas sangat dilindungi–banyak
pembelanya dan didukung media, sehingga ironisnya sampai mengalahkan
kaum mayoritas dan si mayoritas pun jadi "tertuduh"–meskipun kekeliruan
ada pada sang minoritas.